Runtuhnya Kaisar Romawi Herculaise
Penaklukan Konstantinopel (Istanbul) Pada Masa Kekhalifahan
Muhammad II Al Fatih
Pada era Rasulullah salah seorang sahabat pernah bertanya mengenai penaklukan kota Konstatinopel.
Abu Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami
sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, “Mana
yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?” Beliau
menjawab, “Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.”
Maksudnya adalah Konstantinopel.” [H.R. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim]
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang
menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di
bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal
Al-Musnad 4/335]
Sekitar delapan abad kemudian, salah satu bisyaroh nubuwah tersebut
mampu diwujudkan oleh seorang hamba Allah yang bernama Muhammad Al Fatih
atau Mehmed II, yang merupakan seorang Sultan ke-7 dari Kesultanan
Turki Ustmani beserta sekitar 250.000 orang tenteranya. Keberhasilannya
menaklukkan Konstatinopel membuatnya diberi gelar Al-Fatih. Berasal dari
kata: fataha – yaftahu. Artinya membuka atau membebaskan. Sultan
Muhammad Al Fatih menaiki takhta ketika berusia 19 tahun dan memerintah
selama 30 tahun (1451 – 1481)
Kota konstatinopel atau disebut juga Byzantium (kini disebut Istanbul)
adalah kota yang memiliki pesona yang kuat pada masa itu. Letaknya
sangat strategis, yaitu di batas antara Eropa dan Asia. Bagian daratnya
merupakan salah satu bagian dari Jalur Sutera, sedangkan di bagian
lautnya, daerah ini berada di antara Laut Tengah dengan Laut Hitam.
Pesonanya ini membuat banyak bangsa pada masa itu mengincarnya. Banyak
ekspedisi-ekspedisi yang telah dilakukan, namun benteng Konstatinopel
tetap tidak tertembus.
Konstantinopel merupakan salah satu kota terbesar dan benteng terkuat di
dunia saat itu, dikelilingi lautan dari tiga sisi sekaligus, yaitu
selat Bosphorus, Laut Marmarah dan Tanduk Emas yang dijaga dengan rantai
yang sangat besar, hingga tidak memungkinkan untuk masuknya kapal musuh
ke dalamnya. Di samping itu, dari daratan juga dijaga dengan
pagar-pagar sangat kokoh yang terbentang dari laut Marmarah sampai
Tanduk Emas. Memiliki benteng setinggi 60 kaki, sedangkan pagar bagian
luarnya memiliki ketinggian 25 kaki. Selain itu juga terdapat
tower-tower pemantau yang terpencar dan dipenuhi tentara pengawas. Dari
segi kekuatan militer, kota ini dianggap sebagai kota yang paling aman
dan terlindungi, karena di dalamnya ada pagar-pagar pengaman,
benteng-benteng yang kuat dan perlindungan secara alami. Dengan
demikian, maka sangat sulit untuk bisa diserang atau ditaklukkan.
Kedudukan Konstantinopel yang strategis diillustrasikan oleh Napoleon
Bonaparte; ".....kalaulah dunia ini sebuah negara, maka Konstantinopel inilah yang paling layak menjadi ibukota negaranya!".
Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan
Konstantinopel. Di zaman Mu'awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu 'Anhu
pernah dilakukan ekspedisi namun gagal. Di masa shahabat, memang pasukan
muslim sudah sangat dekat dengan kota itu, bahkan salah seorang
shahabat yang menjadi anggota pasukannya dikuburkan di seberang
pantainya, yaitu Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahuanhu. Tetapi tetap
saja kota itu belum pernah jatuh ke tangan umat Islam sampai 800 tahun
lamanya.
Abu Ayyub Al-Anshari berkata,"Aku mendengar baginda Rasulullah SAW
bersabda bahwa ada seorang lelaki shalih akan dikuburkan di bawah tembok
tersebut, Dan aku juga ingin mendengar derap tapak kaki kuda yang
membawa sebaik-baik raja, yang mana dia akan memimpin sebaik-baik
tentara seperti yang telah diisyaratkan oleh baginda".
Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayyah, pemerintahan
Abbasiyyah, dan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia)
terutama Kerajaan Seljuk.
Awal kurun ke-8 hijriyah, Daulah Utsmaniyah mengadakan kesepakatan
bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi napas baru kepada usaha umat Islam
untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sulthan
Yildirim Bayazid saat dia mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M.
Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Bayazid untuk memaksa
Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinopel secara aman kepada umat
Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan
dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk.
Selepas Daulah Utsmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan
terarah, semangat jihad hidup kembali. Sultan Murad II (824-863
H/1421-1451 M) meneruskan usaha penaklukan Kostantinopel. Beberapa usaha
berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi belum membuahkan hasil.
Sultan Murad II mewariskan perjuangan penaklukan Konstatinopel kepada
anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II).
Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad
Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H
atau 6 April 1453 M. Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus untuk
masuk Islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai atau perang.
Constantine Paleologus menjawab tetap mempertahankan kota dengan dibantu
oleh Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovanni Giustiniani dari
Genoa.
Sebelum menaklukkan Konstantinopel, ada khutbah yang disampaikan al Fatih untuk seluruh pasukannya :
“Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah
SAW telah menjadi kenyataan dan salah satu dari mukjizatnya telah
terbukti, maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi
janji dari hadits ini, yang berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh
karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa
kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan
kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan
syariat selalu didepan matanya dan jangan sampai ada diantara mereka
yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik
tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan
mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak
ikut terjun dalam pertempuran”
Benteng kota Konstatinopel memang sulit ditembus, selain di sisi luar
benteng pun dilindungi oleh parit 7 m. Dari sebelah barat melalui
pasukan altileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan
laut Marmara pasukan laut harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan
Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit
Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal
perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.
Berhari-hari hingga berminggu-minggu benteng Byzantium tak bisa jebol,
kalaupun runtuh membuat celah pasukan Constantine mampu mempertahankan
celah tersebut dan dengan cepat menumpuk kembali hingga tertutup. Usaha
lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng, cukup
menimbulkan kepanikan kota, namun juga gagal. Hingga akhirnya sebuah ide
yang cemerlang muncul. Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah
melalui selat Golden Horn yang sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya
dilakukan, yaitu memindahkan kapal-kapal melalui darat untuk menghindari
rantai penghalang. Alhasil, hanya dalam semalam, 70-an kapal bisa
memasuki wilayah selat Golden Horn.
29 Mei, setelah sehari istirahat perang Muhammad II kembali menyerang
total, diiringi hujan dengan tiga lapis pasukan, irregular di lapis
pertama, Anatolian Army di lapis kedua dan terakhir pasukan Yanisari.
Giustiniani sudah menyarankan Constantine untuk mundur atau menyerah
tapi Constantine tetap konsisten hingga gugur di peperangan. Kabarnya
Constantine melepas baju perang kerajaannya dan bertempur bersama
pasukan biasa hingga tak pernah ditemukan jasadnya. Giustiniani sendiri
meninggalkan kota dengan pasukan Genoa-nya. Kardinal Isidor sendiri
lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan
gugur di peperangan.
Ketika Konstantinopel telah jatuh ke tangan pasukan Islam, penduduk kota
berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia, dan Sultan Muhammad II
memberi perlindungan kepada semua penduduk, baik Islam, Yahudi ataupun
Kristen. Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja
lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya.
Diceritakan bahwa tentara Sultan Muhammad Al Fatih tidak pernah
meninggalkan salat wajib sejak baligh dan separuh dari mereka tidak
pernah meninggalkan salat tahajjud sejak baligh. Hanya Sultan Muhammad
Al Fatih saja yang tidak pernah meninggalkan salat wajib, tahajud dan
rawatib sejak baligh hingga saat kematiannya.
Suatu hari timbul soal ketika pasukan islam hendak melaksanakan shalat jum’at yang pertama kali di kota itu.
“Siapakah yang layak menjadi imam shalat jum’at?”
Tak ada jawaban. Tak ada yang berani yang menawarkan diri. lalu Muhammad
Al Fatih tegak berdiri. Beliau meminta kepada seluruh rakyatnya untuk
bangun berdiri.
Kemudian beliau bertanya, “Siapakah diantara kalian yang sejak
remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan
meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!”
Tak seorangpun pasukan islam yang duduk. Tentara islam pimpinan Muhammad
Al Fatih sejak masa remaja mereka hingga hari itu, tak pernah satu kali
pun meninggalkan shalat fardhu.
Lalu Muhammad Al Fatih kembali bertanya, “Siapa diantara kalian yang
sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah
rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat sunah sekali saja
silakan duduk!”.
Sebagian pasukan kemudian duduk, artinya, pasukan islam sejak remaja
mereka ada yang teguh hati, tidak pernah meninggalkan shalat-shalat
rowatib. Namun ada yang pernah meninggalkanya. Betapa kualitas karakter
dan keimanan mereka sebagai muslim sungguh bernilai tinggi, sungguh
jujur, pasukan islam pimpinan Al Fatih.
Muhammad Al Fatih kembali bertanya: “Siapa diantara kalian yang sejak
masa akhil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di
kesunyian malam? Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja,
silakan duduk!”
Semua yang tadinya berdiri segera duduk. Hanya ada seorang saja yang
tetap tegak berdiri. Siapakah dia? dialah, Sultan Muhammad Al Fatih,
sang penakluk benteng super power Byzantium Konstantinopel. Beliaulah
yang pantas menjadi imam shalat jumat hari itu. Karena hanya Al Fatih
seorang yang sejak remaja selalu mengisi butir-butir malam sunyinya
dengan bersujud kepada Allah SWT, tidak pernah kosong atau absen
semalampun.
Sebagai sebuah wasiat untuk anaknya yang akan meneruskan kepemimpinan, maka Al Fatih menyampaikan wasiat kepada anaknya:
“Aku sudah diambang kematian. Tapi aku berharap aku tidak kawatir,
karena aku meninggalkan seseorang sepertimu. Jadilah seorang pemimpin
yang adil, shalih dan penyayang. Rentangkan pengayomamu untuk rakyatmu,
tanpa kecuali, bekerjalah untuk menyebarkan islam. Karena sesungguhnya
itu merupakan kewajiban para penguasa di muka bumi. Dahuluklan urusan
agama atas apapun urusan lainnya. Dan janganlah kamu jemu dan bosan
untuk terus menjalaninya. Janganlah engkau angkat jadi pegawaimu mereka
yang tidak peduli dengan agama, yang tidak menjauhi dosa besar, dan yang
tenggelam dalam dosa. Jauhilah olehmu bid’ah yang merusak. Jagalah
setap jengkal tanah islam dengan jihad. Lindungi harta di baitul maal
jangan sampai binasa. Janganlah sekali-kali tanganmu mengambil harta
rakyatmu kecuali dengan cara yang benar sesuai ketentuan islam. Pastikan
mereka yang lemah mendapatkan jaminan kekuatan darimu. Berikanlah
penghormatanmu untuk siapa yang memang berhak.”
“Ketahuilah, sesungguhnya para ulama adalah poros kekuatan di tengah
tubuh negara, maka muliakanlah mereka. Semangati mereka. Bila ada dari
mereka yang tinggal di negeri lain, hadirkanlah dan hormatilah mereka.
Cukupilah keperluan mereka.”
“Berhati-hatilah, waspadalah, jangan sampai engkau tertipu oleh harta
maupun tentara. Jangan sampai engkau jauhkan ahli syari’at dari
pintumu. Jangan sampai engkau cenderung kepada pekerjaan yang
bertentangan dengan ajaran islam. Karena sesungguhnya agama itulah
tujuan kita, hidayah itulah jalan kita. Dan oleh sebab itu kita
dimenangkan.”
“Ambilah dariku pelajaran ini. Aku hadir ke negeri ini bagaikan
seekor semut kecil. Lalu allah memberi nikmat yang besar ini. Maka
tetaplah di jalan yang telah aku lalui. Bekerjalah untuk memuliakan
agama islam ini, menghormati umatnya. Janganlah engkau hamburkan uang
negara, berfoya-foya, dan menggunakannya melampaui batas yang
semestinya. Sungguh itu semua adalah sebab-sebab terbesar datangnya
kehancuran.”